Tantangan Pendidik di Era Post-Truth



Dalam seni bela diri terkenal istilah kuda-kuda yang berfungsi untuk mempersiapkan diri dalam menyerang lawan sekaligus mepertahankan posisi agar tidak mudah jatuh dan rapuh, dengan kekuatan kuda-kuda yang dimiliki maka pertahanan diri semakin kokoh dan tidak mudah goyah. Begitulah kiranya yang dialami manusia saat ini  waktu berkembang dengan dinamis. tantangan dan hambatan kehidupan selalu datang silih berganti siapa yang tidak menguatkan kuda-kudanya akan tergilas oleh kerasnya zaman.

Suka ataupun tidak dinamika hidup tidak bisa dihindari, ditengah banjirnya informasi di segala dimensi kehidupan manusia sebagai dampak dari percepatan dan kemajuan  teknologi membuat batas semakin teretas, informasi bersilewaran dimana-mana yang hampir tidak dapat dikontrol dengan internet sebagai pangkalnya. Ironisnya dibalik semua kemudahan akses informasi yang mudah didapat, pada saat bersamaan manusia justru kesulitan untuk mendapatkan makna (kehilangan arti) dari kumpulan informasi yang didapatkannya karena terlalu banyaknya informasi tersedia, sehingga kecenderungan saat ini malah mencari pembenaran dari pada kebenaran itu sendiri.

Kondisi di atas merupakan perjalanan peradaban manusia yang mengindikasikan era post-truth. Kata Post-truth berarti pascakebenaran atau kebohongan, menurut Kamus Oxford, post-truth mendeskripsikan situasi di mana fakta atau objektifitas kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik, kalah oleh daya tarik emosi dan apa yang diyakini orang. Mudahnya kebenaran akan kalah telak dengan persepsi yang dibangun atas dasar emosi dan kepercayaan kendatipun itu sebuah kesalahan.

Era post-truth hadir di setiap sisi kehidupan tidak terkecuali pada dunia pendidikan, era ini seharusnya menyadarkan para pendidik bahwa perubahan dan perkembangan hendaknya diikuti progresifitas dan dinamisasi tiada henti dengan mawas diri disertai kesadaran yang utuh. Mawas diri menjadikan individu manusia mahluk dengan kesadaran. Kesadaran itu yang menuntun ia pada respon positif dengan kehidupan di sekitar dirinya,berupa empati, simpati, toleransi, menghargai, loyal, serta dapat mengembangkan corak berpikir positif dan tidak mudah menilai orang lain, kecuali dengan penuh kehati-hatian (Bandarsyah, 2019).

Disinilah peran serta pendidik dalam merespon era post-truth dengan memposisikan diri dan peserta didiknya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam perjalanan peradaban manusia, penanaman nilai dan aktualisasi diri menjadi perhatian khusus yang harus diajarkan dan dibina sebaik mungkin di tengah tarikan pusaran tekhnologi yang begitu hebatnya, salah dalam mengambil arah bisa berakibat tontonan yang akan menjadi tuntutan bukan tuntunan yang menjadi acuan.

Berangkat dari kegelisahan dengan situasi ini, dimana setiap orang merasa menjadi ahli “sok tahu” maka perlu kiranya tindakan dan usaha dilakukan oleh para pendidik dalam memfasilitasi peserta didiknya agar tidak dengan mudah terbawa arus mainstream, pendidik harus memberikan pedoman dan jaminan bahwa setiap perbuatan benar (logis), baik (etis) dan estetis (indah) harus dibumikan guna menjadi pedoman bagi peserta didiknya. Dengan demikian segala bentuk kebodohan, kewenang-wenangan dan keangkuhan diri, serta perbuatan kontraproduktif yang mendestruksi kehidupan dapat diatasi melalui kegiatan pendidikan.

Sumber gambar :https://medium.com

Kelompok Studi Guru

Dalam merespon setiap perubahan yang terjadi perlu adanya gerakan alternatif dalam mengisi arus yang berkembang saat ini, salah satunya adalah membangun basis keilmuan para pendidik dengan berbagai kelompok studi guru yang tidak hanya menembalkan pemahamannya tentang media, metode dan strategi pembelajaran semata melampaui itu harus ada penguatan kembali tentang keilmuan, peran dan tanggung jawab masa depan perabadan.

Konstruksi yang dibangun adalah bagaimana pendidik memiliki pemahaman mendalam baik dengan profesinya maupun dengan dinamika kehidupan yang terjadi, hadir dalam mencari solusi dan menyemarakan kegiatan positif sebagai gerakan menyadarkan generasi penerus bangsa bahwa masa depan harus dipersiapkan dengan baik dan benar, pemahaman tentang konsep dan gagasan tokoh-tokoh besar baik dari dalam maupun luar negeri perlu dipelajari kembali sebagai pengetahuan yang dapat diambil hikmah dan maknanya, dengan begitu perjalanan era post-truth dapat diimbangi dengan penambahan kualitas dan kuantitas ilmu pengetahuan serta penguatan keimanan tentunya.

Budaya literasi yang didengungkan bagi peserta didik harusnya juga menjadi cermin bagi pendidik untuk menghidupkannya, betapa celakanya jika edukasi tentang literasi sering disampaikan tetapi tidak ada kesamaan dalam tindakan para pendidiknya, dengan demikian membudayakan membaca, menulis dan berdiskusi haruslah dijadikan kebutuhan primer yang dicukupi para pendidik karena merekalah agen penghantar anak didiknya menuju pencerahan dan pembebasan.

Era post-truth tentu tidak bisa dielakan dan semakin membuka mata kita tentang bagaimana kelihaian membaca situasi maupun kondisi, dalam prosesnya manusia berjibaku untuk saling menguatkan posisinya terlepas dengan bagaimana cara yang mereka tempuh, namun mereka yang merasa kaum terdidik dan tercerahkan tentu tidak hanya menerima segala apa yang ada dengan anggukan tanpa ada daya nalar dan sikap kritis atas apa yang terjadi, maka memeriksa dan memfilter segala informasi yang diterima adalah sebuah keniscayaan agar kita tidak terperosok ke dalam jurang mengamini kebohongan.

Menarik untuk disimak sebuah diktum terkenal yang konon diucapkan oleh Socrates "Hidup yang tak teruji tak layak dijalani", di setiap periodesasi kehidupan selalu ada tantangan dan hambatan yang menghampiri, yakinlah  hanya pendidik yang sadar bahwa dirinya adalah pendidik yang mampu melewati itu semua, 

Wallahu A'lam Bishawab

Penulis : Fata Azmi

Belum ada Komentar untuk "Tantangan Pendidik di Era Post-Truth"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel