Menulislah
Pagi ini aku mendapat secarik surat dari muridku. Tulisannya mengalir, jujur membawa segala yang ia rasakan. Surat itu dimulai dari sekelumit kisah kemarin, tentang senyum yang sempat terpaksa, hingga harapan sederhana yang ia titipkan untuk hari ini dan esok.
Tak ada kata-kata puitis, hanya untaian kalimat yang ditulis
dengan sederhana. Tapi justru dari sanalah aku tahu yang ditulis dengan
kejujuran akan sampai pada mata air kehidupan, tempat segala rasa bermula dan
bermuara.
Di tengah zaman yang semakin bising dengan pencitraan,
keberanian menulis surat adalah sebentuk perlawanan. Ketika dunia ramai dengan
unggahan bahagia yang sering kali hanya topeng dari luka yang tak selesai,
sebuah surat yang jujur terasa seperti nafas segar.
Tidak banyak anak hari ini yang memilih menuangkan rasa
dengan pena dan kertas. Namun dia melakukannya. Mungkin tanpa sadar, ia sedang
menyelamatkan sepotong budaya yang nyaris punah, budaya mengungkapkan isi hati
tanpa jeda, tanpa filter, tanpa kebutuhan untuk disukai.
Ada ketulusan dalam setiap barisnya. Ia tidak menuntut
pengakuan, tidak berharap balasan panjang. Ia hanya ingin didengar, dimengerti.
Dalam suratnya, ia menulis: “Kata berakhir adalah kata yang paling
menyedihkan.” Kalimat itu lahir dari keresahannya akan kelulusan kelas
enam—perpisahan yang perlahan mulai terasa nyata. Kalimat itu begitu sederhana,
tetapi bagiku, itu lebih dari cukup untuk menyadarkan bahwa pendidikan bukan
sekadar soal nilai dan hafalan. Ini tentang membangun keyakinan, tentang
menghadirkan keberanian untuk bermimpi, dan tentang memberi ruang bagi setiap
anak untuk mengenali dirinya sendiri.
Aku percaya harapan tidak boleh dibiarkan redup. Ia harus
dijaga, dirawat. Surat darinya menjadi pengingat bahwa dalam kesederhanaan,
kita bisa menemukan makna. Dan pagi ini, aku merasa diberkahi. Bukan karena
penghargaan atau pujian, tetapi karena telah diberi kesempatan menyaksikan
secercah harapan tumbuh dalam diri seorang anak.
Semoga kelak, ia tak berhenti menulis. Semoga ia terus
percaya bahwa suara hatinya berharga. Dan semoga, kita semua punya cukup
keberanian untuk mendengarkan bukan hanya dengan telinga, tetapi dengan hati
yang terbuka.
Belum ada Komentar untuk "Menulislah"
Posting Komentar